Selasa, 15 Maret 2011

Konsep Gerak Tari

0


Konsep tentang gerak tari yang di kenal umumnya mengacu pada aspek ruang, waktu, dan tenaga. Tiga hal tersebut tidak dapat ditangkap dengan indra, tetapi keberadaannya jelas dirasakan dan nyata dapat dibuktikan. Ruang menjadi ada kalau ruang tersebut telah ditempati oleh bentuk, sehingga dalam ruang itu menjadi “wujud” yaitu ada dalam pengertian nyata. Realitas ruang menjadi benar-benar disadari “ada” ketika tubuh manusia (penari) hadir dalam ruang ekspresi, yaitu ruang pernyataan diri, menyatakan diri (penari) sebagai sesuatu yang bersifat imajior. Sesuatu yang semula tidak ada, sesungguhnya imaji penari berasal dari obyek yang riil, yaitu sesuatu yang ditirukan (imitasi), misalnya: penari menirukan kijang. Kijang yang diekspresikan melalui tubuh penari dalam ruang ekspresi sebelumnya tidak ada. Ketika mendadak ada atau menjadi wujud dikarenakan adanya sesuatu yang memberikan kesempatan untuk ada
Memahami ruang dalam pengalaman tari tidak terlalu sakit, bahkan bisa jadi tidak menjadi sesuatu yang memerlukan pemahaman yang sangat mendalam. Hal ini menjadikan dengan sifat dari “tubuh” yang sejak lahir diberikan kesempatan untuk berada dalam “ruang”. Tetapi ketika ruang dalam pengertian yang umum tersebut harus di “tiadakan”, dan digantikan dengan pemahaman yang bersifat konseptual, yaitu “ruang ekspresi”. Maka pemahaman tentang ruang tersebut menjadi sulit untuk dijelaskan dengan bahasa yang sederhana. Orang tentunya tidak dapat menganggap penari yang menarikan kijang itu merupakan imitasi kijang, dengan kata lain “itu bukan potret kijang”, tetapi itu adalah sebuah gambaran tentang kondisi yang tidak nyata ada tentang kijang. Kijang ditirukan hanya semata-mata menjadi pemicu, rangsang awal yang berupa obyek visual. Setelah obyek tersebut ditranformasikan dalam pikiran dan menjadi konsep; gambaran imajiner dari obyek menuntut media metrial yang mampu ditangkap oleh indra penglihatan. Penempatan matrial yang mengada (maujud) tersebut disangga oleh realita ada dan tiada, yaitu realitas ruang.
Pada umumnya, kehadiran ruang tari disebabkan karena pola-pola (desain). Maka pada umunya para koreografer selalu memfokuskan pada pembuatan pola yang diterapkan pada tubuh penari. Sehingga pola kijang menjadi sangat penting, untuk mampu menggambarkan wujud visual tentang kijang. Hal ini merupakan sebuah proses yang disebut dengan “impresi”. Ruang diwujudkan berdasarkan kesan-kesan dari obyek. Impresi menjadi sangat simplek, ketika wujud tubuh penari hanya sebagai sebuah rangkaian pola-pola dari kenyataan obyek.
Obyek dan (ke) matrial obyek (penari) adalah mekanisme proses pengalihan (mutasi) pola yang bersifat subyektif (yang dilihat) oleh koreografer. Wujud dari obyek yang secara praktis diseragamkan oleh penari adalah ruang positif, yaitu ruang nyata yang secara bersama-sama dirasakan oleh koreografer dan penari. Tetapi keduanya tidak menyadari benar, bahwa ruang subyektifitasnya menjadi benar-benar hadir dan mampu ditangkap kembali ketika ada yang tidak subyektif, yaitu ruang yang ditempati oleh ruang pola, apakah berbentuk kijang, atau gambaran-gambaran visual lainnya.
Proses mewujudkan ruang tari adalah sebuah proses transpormasi antara obyek realitas (natural) ke obyek renaan. Ruang ekspresif adalah mendukung terciptanya obyek rekaan. Ketika ruang rekaan tersebut hadir dalam wujudnya, maka terwujudlah pola yang disebut sebagai realitas kreatif.
Tubuh hanya merupakan sarana yang membawa pengalaman teknis, tetapi selanjutnya lebih ditentukan oleh sebuah pola pikir dan atau intuisi yang membimbing pada suatu arah yang dianggap sesuai dengan pengalaman rasa; hal ini lebih condong pada keputusan-keputusan intuitif, tetapi kepekaan estetik menjadi bagian yang penting dalam memaknai yang disebut ruang ekspresif.
Ruang yang diuraikan diatas, dapat dipahami lebih bersifat teknis (1) ruang dalam pengertian “wadah” atau “rumah” daris sebuah gagasan; ruang dalam pengertian tersebut lebih ditentukan pada pemahaman tentang “pola”. Implikasi dari pola mengarahkan pada suatu tata unsur dari bentuk, seperti arah garis, volume, level, kedudukan dan tanggapan terhadap kenyataan gravitasi. (2) ruang dalam pengertian areal atau tempat bermukim yang menyangga keberadaan wujud adalah sebuah kenyataan virtual, sementara pola yang mendorong terlahirnya bentuk adalah bersifat aktual. Visrtualisasi hadir oleh dukungan suasana, interaksi antar individu, karakter yang mampu dilahirkan atas intepertasi sisi, kostum yang mencerminkan sebuah rasa etnis atau kesan tertentu, seting dan properti yang memberikan makna simbolis tertentu. pengertian ruang yang kedua ini menunjukkan sebuah pola ruang yang bersifat dinamis, bersifat paradikmatik atau diakronis. Sementara pengertian ruang yang pertama lebih menekankan hal-hal yang dapat ditangkap secara nyata dari tubuh yang dikonstruksikan dan bersifat sinkronis, saat ini dalam pengertian format-format yang ditonjolkan, atau memiliki pandangan sintakmatis; atau kenyataan yang bersifat aktual (lawan virtual).
Waktu adalah suatu wadah proses, yang terbentuk dari satu satuan ke satuan lain dan membentuk sebuah rangkaian yang bersifat mengikat; sifat waktu bersifat merangkai dan tidak memiliki sinyal yang mengevaluasi. Maka serendah apapun tingkat kemampuan merangkai gerak pada waktu tertentu juga akan terbentuk rangkaian yang dipersepsi oleh pemerhati yang awam sebagai “tari”. Tetapi jika mencermati kebermaknaan “waktu” pada sifat rangkaian, tentu akan bermakna lain. Makna dari evaluasi berdasarkan dalam ranah waktu akan menuntun pada kesadaran kreatif tentang sekuen, tentang frase, tentang rasa dinamik, tentang paradigmatik (hubungannya dengan sesuatu yang lampau), tentang diakronis (hubungan dengan sesuatu yang bersifat keseluruhan dari awal), tentang dramatikal, tentang sifat kenyataan yang membuka (pandang) dan menutup (ulihan).
Sifat waktu dalam menghadirkan ruang adalah sebuah ikatan yang bersifat mengikat. Dalam tataran praktis, ruang tidak dapat dipisah dengan waktu. Ruang dan waktu tidak dapat diberikan makna keterkaitan dengan kata sambung “dan”. Oleh karena itu dalam membicarakan bentuk kaitannya dengan waktu adalah ruang-waktu. Sebuah kedua elemen estetik (perseptif) tersebut tidak dapat hadir secara nyata satu persatu, walaupun bentuk yang bersifat statis sekalipun. Diam dalam kenyataan bukan berarti dalam keadaan statis, seperti kondisi benda-benda mati yang tidak dapat berubah dengan sendirinya. Maka tampak benar ruang untuk menikmati atau merasakan perubahan. Perubahan pada hakekatnya adalah sebuah perlawanan dengan diam, diam menjadi sangat bermakna ketika penikmat berada pada saat menanti selesainya diam. Maka dapat dikatakan bahwa perubahan adalah sebuah proses keadaan potensial menjadi aktual, dan demikian kondisi aktual menuju potensial.
Aktualisasi adalah sebuah perwujudan kontemporer (kesesaatan yang tidak terulang kembali) dari sebuah perlawanan kondisi potensial (kebermaknaan atau kemapanan). Secara teknis pola-pola potensial yang berulang atau tidak menuju pada pernyataan aktual membuat terasa “statis”. Ini yang dapat dimaknai “statis” bentuk menahan waktu. Perhatian kondisi potensial dari bentuk, sikap,atau posisi patung. Bentuk adalah sebuah kondisi potensial yang tidak menemukan pola aktualnya. Maka waktu dalam ruang paton menjadi waktu yang bersifat “statis”. Tapi dalam koreografi dapat hadir waktu yang bersifat “statis”, yaitu hadirnya pola-pola potensial yang berulang dalam waktu yang cukup lama. Pola menahan waktu bukan hakekat realita, tetapi memaksa peminat untuk mampu menggali secara esensial aktualitas imajinatif.
Aktualisasi dari penyataan bentuk (pola ruang) sangat tergantung dari pola potensial yang mengawali (mendahului), dapat bermakna sebagai pemahaman tentang teknis tari kaitanya dengan aspek anatomis, yang disebut dengan kewajaran mekanistik tubuh. Bentuk sangat bergantung pada kemampuan kondisi potensial teknik yang dikuasai penari, maka pola potensial selalu berkait dengan citra antraktif dari kemampuan penari, demikian pula pencarian pola aktualnya. Hal ini tidak terkait dengan bentuk-bentuk yang sederhana, sesederhana apapun pola menjadi bersifat aktual ketika kemampuan teknik penari mampu mendukung menciptakan pola potensialnya.
Waktu adalah suatu kondisi yang memberikan ruang mencapai kemampuan dinamis (potensi) yang meliputi sebuah pencapaian makna dan karakteristik yang khas sebagai pernyataan seni, maka waktu merupakan elemen yang membuat tubuh mencapai kesan virtualitasnya, dan sekaligus teknis. Sebuah teknik mengangkat kaki dan meletakkan pada posisinya, akan terasa benar memiliki makna musikal ketika pola itu tidak melawan ritme; apakah mengikuti pola pada hitungan genap atau mengikuti rasa irama yang mengalir, ketika menjatuhkan kaki pada posisi tertentu diikuti oleh suara instrumen yang rendah; baik sesudah, tepat atau mendahului bunyi yang menekan.
Contoh tersebut diatas adalah pengertian umum yang selalu menghubungkan waktu dengan rangkaian nada-nada yang tersusun secara sistematis dan memberikan dukungan terhadap pola ruang yang divisualisasilkan melalui tubuh. Pola teknik ini memberikan pemahaman bahwa tubuh itu menjadi potensial, bermakna, dan atau memiliki karakteristik serta emosional atas suport dari bunyi-bunyi yang teratur. Keteraturan bunyi-bunyian yang memberikan nuansa rasa emosi, kekuatan dinamik, atau kesan rasa berat atau ringan merupakan kenyataan yang tidak terbantah, bahwa itu merupakan wujud realitas adanya ruang waktu.
Tenaga (power)
Seperti halnya ruang-waktu, aspek tenaga dalam konsep koreografi adalah sesuatu yang tidak nyata secara visual, tetapi menentukan secara esensial. Karena tidak terorganisirnya tenaga secara sistematis dan terarah, maka sulit bagi seorang koreografer mempu mengenali seluruh emosi yang ada dalam tubuhnya, terlebih ketika melakukan perpindahan pola ruang-waktu pada penari.
Penampakan tenaga dalam tubuh penari merupakan sebuah usaha kreatif yang bersifat dinamis, yang mampu menghidupkan rasa ruang-waktu.
Tenaga secara praktis seringkali diartikan sebagai dorongan yang dialirkan melaui pusat-pusat kekuatan pada tubuh, mengalir melalui otot-otot dan memusat pada persendian dan memberi bentuk pada tubuh.
Robby Hidayat

No Response to "Konsep Gerak Tari"

Posting Komentar