Selasa, 09 Agustus 2011

Kreasi Tari Nusantara

0


Kata kreasi berasal dari bahasa Inggeris yaitu to create yang artinya suatu karya cipta, daya khayal sebagai sebuah fikiran atau kecerdasan akal manusia. Kemampuan berkreasi dan mencipta itu disebut kreatifitas, sedangkan orang yang memiliki kemampuan berkreasi dan mencipta disebut kreatif. Orang yang mampu mencipta atau menyusun tari disebut Koreografer dan hasil atau susunan tarinya disebut koreografi.

Dalam menyusun ide atau gagasan kedalam sebuah kreasi tari diperlukan persiapan khusus tentang pengetahuan tentang tari daerah sehingga dapat menjadi dasar pijakan untuk menemukan bentuk yang lain atau kreasi yang baru. Dalam kehidupan sehari-hari misalnya pergaulan muda-mudi, persahabatan dan lain sebagainya dapat menjadi gagasan atau ide didalam sebuah karya tari. Demikian juga halnya apabila merespon suatu kejadian yang terjadi didalam masyarakat misalnya bencana alam , banjir atau sunami.

Selengkapnya...

Jumat, 01 April 2011

Sejarah Seni Tari Indonesia

0

Perjalanan dan bentuk seni tari di Indonesia sangat terkait dengan perkembangan kehidupan masyarakatnya, baik ditinjau dari struktur etnik maupun dalam lingkup negara kesatuan.
Jika ditinjau sekilas perkembangan Indonesia sebagai negara kesatuan, maka perkembangan tersebut tidak terlepas dari latar belakang keadaan masyarakat Indonesia pada masa lalu. James R. Brandon (1967), salah seorang peneliti seni pertunjukan Asia Tenggara asal Eropa, membagi empat periode budaya di Asia Tenggara termasuk Indonesia yaitu:
1) periode pra-sejarah sekitar 2500 tahun sebelum Masehi sampai 100 Masehi (M)
2) periode sekitar 100 M sampai 1000 M masuknya kebudayaan India,
3) periode sekitar 1300 M sampai 1750 pengaruh Islam masuk, dan
4) periode sekitar 1750M sampai akhir Perang Dunia II. 
Selengkapnya silahkan Download disini>> Selengkapnya...

Selasa, 15 Maret 2011

Tari Ibarat Bunga

2


Tari dengan salah satu fungsinya adalah memberikan tontonan hiburan kepada siapa saja yang melihatnya. Tari mampu menggugah hati seseorang dalam merasakan hal-hal keindahan, kekuatan sentuhan ritmisnya mampu memberi kepuasan tersendiri bagi penikmatnya. Demikian pula bagi penarinya, dengan penjiwaanterhadap gerakan yang dilakukan tentu akan mendatangkan kepuasan tersendiri. Pembelajaran tari kepada peserta didik mempunyai arti yang positif dalam kehidupannya, penari diharapkan dapat menikmati, mengagumi dan mencintai karya-karya seni tari di daerahnya dan karya-karya tari nasional. Apresiasi terhadap karya tari senantiasa ditumbuhkan sejak masih anak-anak, yaitu memiliki rasa, cipta dan karsa untuk mengharumkan dirinya dan orang lain yang di ibaratkan sekuntum bunga Landasan spiritual yang dilapisi oleh rasa seni dalam mencapai kedewasaan merupakan modal utama untuk membentuk jati dirinya, selain sebagai media untuk membentuk kepribadian dan budi pekerti yang luhur, rasa seni bagi siswa juga akan meningkatkan gairah belajar. Selengkapnya...

Rumpun Tari Sulawesi Selatan

0


Sulawesi selatan dikenal mempunyai empat rumpun suku, masing-masing suku Makasar, Bugis, Toraja dan Mandar. Khusus untuk suku mandar memang secara geografi sudah terpisah dengan Sulawesi selatan, dan sekarang berada di provinsi Sulawesi barat, akan tetapi secara culture dan latar belakang sejarah, kebudayaan suku mandar masih merupakan satu kesatuan dengan ke tiga suku tadi dan merupakan suku yang telah lama mendiami wilayah Sulawei selatan, sehingga ke empat suku tersebut merupakan kesatuan corak kekayaan dan keragaman budaya. Masing-masing suku dan daerah ini, dapat di bedakan dari segi bahasa, kostum yang meliputi cara berpakaian dan warna khas baju, sarung serta ciri tariannya Adapun tari-tarian tradisional dapat kita jumpai di beberapa daerah, diantaranya
adalah :
1. Tari Pakkarena
Berasal dari rumpun daerah Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Selayar, Bulukumba dan Makasar.
2. Tari Pajaga
Berasal dari rumpun daerah Bugis, meliputi daerah Wajo, Soppeng, Luwu, dan Pinrang.
3. Tari Pa'gellu
Berasal dari rumpun daerah Toraja, meliputi Enrekang, dan perbatasan mamasa dan Luwu.
4. Tari Pa'tuddu
Berasal dari rumpun daerah Mandar, meliputi Polman, Majene, dan Mamuju.
5. Tari Pajoge
Berasal dari rumpun daerah Bugis Bone.

Selain tari-tari tradisional tersebut diatas, yang sekaligus menjadi sumber inspirasi penciptaan, maka masih banyak tari-tari tradisional lainnya seperti :

A. Rumpun Makasar
1. Tari Pakarena Bura'ne
2. Tari Pammasari
3. Tari Pasempa
4. Tari Ganrang Bulo
5. Tari Pasere
6. Tari Pasalonreng
7. Tari Atraksi Pajaga
8. Tari Pakarena Sikru
9. Tari Pakondo Buleng
10.Tari Padekko
11.Tari Pangaru
12.Tari Galaganji
13.Tari Pujik
14.Tari Rebana
15.Tari Adengbu Panai
16.Tari Pamingkik

B. Rumpun Bugis
1. Tari Gilireng
2. Tari Welado
4. Tari Lanceng
5. Tari Lelen Bau
6. Tari Pangayo
7. Tari Kaliao
8. Tari Salonreng
9. Tari Pabitte Passapu
10.Tari Rebana
11.Tari Katia
12.Tari Mareja-Eja
13.Tari Ma'jaga
14.Tari Pandengara
15.Tari Pajoge Makkunrai
16.Tari Bissu
17.Tari Lamondu
18.Tari Parado

C. Rumpun Toraja
1. Tari Burake Gendang
2. Tari Dao Bulon
3. Tari Panandingan
4. Tari Samajo
5. Tari Pa' Boneballa
6. Tari Pa' Burake
7. Tari Pa' Katia
8. Tari Manganda
9. Tari Panimbong
10.Tari Mapapangan

D. Rumpun Mandar
1. Tari Pattuddu Dego
2. Tari Bunake
3. Tari Sayo
4. Tari Saliliya
5. Tari To Eran Batu
6. Tari Paddego
7. Tari Pattuddu Muane

Selain tari tradisional Sulawesi selatan diatas, terdapat pula tari tari Kreasi Baru, yaitu :
1. Tari Pattennung
2. Tari Padendang
3. Tari Bosara
4. Tari Mallattu Kopi
5. Tari Pelangi (Pabbekkenna Ma'jina)
6. Tari Paduppa
7. Tari Sulawesi
8. Tari Tanasenge
9. Tari Batara
10. Tari Rapang Bulang
11. Tari Patoeng
12. Tari Sikru
13. Tari Nelayan
14. Sendratari Samindara
15. Sendratari Cinde I Lan
16. Sendratari Lebonna
17. Fragmen Tari Bunting Mangkasara
18. Tari Bunga Tojong
19. Tari Toddo Puli
20. Tari Bunga Malena Cikoang
21. Tari Pakkuru Sumange
22. Tari Pangngurangi
23. Tari Laklang Sipue
24. Sendratari Datu Musseng
25. Tari Pajinjing Dupa
26. Tari Anging Mammiri
27. Tari Pasulo
28. Fragmen Tari Maradika Tamma
29. Tari Papising Timpa
30. Tari Paduppa
31. Tari Bulang Samarak
32. Tari Laklang Mariri
33. Tari Andi-andi Wesabbe
34. Tari Pa Gasing
35. Tari Paccekla
36. Tari Pajala Karao
37. Sendra Tari Sawerigading
38. Tari Paridik
39. Tari Pajala Rompong
40. Tari Maslimbo-limbo
41. Sendra Tari Maipa Deapati
Selengkapnya...

Konsep Gerak Tari

0


Konsep tentang gerak tari yang di kenal umumnya mengacu pada aspek ruang, waktu, dan tenaga. Tiga hal tersebut tidak dapat ditangkap dengan indra, tetapi keberadaannya jelas dirasakan dan nyata dapat dibuktikan. Ruang menjadi ada kalau ruang tersebut telah ditempati oleh bentuk, sehingga dalam ruang itu menjadi “wujud” yaitu ada dalam pengertian nyata. Realitas ruang menjadi benar-benar disadari “ada” ketika tubuh manusia (penari) hadir dalam ruang ekspresi, yaitu ruang pernyataan diri, menyatakan diri (penari) sebagai sesuatu yang bersifat imajior. Sesuatu yang semula tidak ada, sesungguhnya imaji penari berasal dari obyek yang riil, yaitu sesuatu yang ditirukan (imitasi), misalnya: penari menirukan kijang. Kijang yang diekspresikan melalui tubuh penari dalam ruang ekspresi sebelumnya tidak ada. Ketika mendadak ada atau menjadi wujud dikarenakan adanya sesuatu yang memberikan kesempatan untuk ada
Memahami ruang dalam pengalaman tari tidak terlalu sakit, bahkan bisa jadi tidak menjadi sesuatu yang memerlukan pemahaman yang sangat mendalam. Hal ini menjadikan dengan sifat dari “tubuh” yang sejak lahir diberikan kesempatan untuk berada dalam “ruang”. Tetapi ketika ruang dalam pengertian yang umum tersebut harus di “tiadakan”, dan digantikan dengan pemahaman yang bersifat konseptual, yaitu “ruang ekspresi”. Maka pemahaman tentang ruang tersebut menjadi sulit untuk dijelaskan dengan bahasa yang sederhana. Orang tentunya tidak dapat menganggap penari yang menarikan kijang itu merupakan imitasi kijang, dengan kata lain “itu bukan potret kijang”, tetapi itu adalah sebuah gambaran tentang kondisi yang tidak nyata ada tentang kijang. Kijang ditirukan hanya semata-mata menjadi pemicu, rangsang awal yang berupa obyek visual. Setelah obyek tersebut ditranformasikan dalam pikiran dan menjadi konsep; gambaran imajiner dari obyek menuntut media metrial yang mampu ditangkap oleh indra penglihatan. Penempatan matrial yang mengada (maujud) tersebut disangga oleh realita ada dan tiada, yaitu realitas ruang.
Pada umumnya, kehadiran ruang tari disebabkan karena pola-pola (desain). Maka pada umunya para koreografer selalu memfokuskan pada pembuatan pola yang diterapkan pada tubuh penari. Sehingga pola kijang menjadi sangat penting, untuk mampu menggambarkan wujud visual tentang kijang. Hal ini merupakan sebuah proses yang disebut dengan “impresi”. Ruang diwujudkan berdasarkan kesan-kesan dari obyek. Impresi menjadi sangat simplek, ketika wujud tubuh penari hanya sebagai sebuah rangkaian pola-pola dari kenyataan obyek.
Obyek dan (ke) matrial obyek (penari) adalah mekanisme proses pengalihan (mutasi) pola yang bersifat subyektif (yang dilihat) oleh koreografer. Wujud dari obyek yang secara praktis diseragamkan oleh penari adalah ruang positif, yaitu ruang nyata yang secara bersama-sama dirasakan oleh koreografer dan penari. Tetapi keduanya tidak menyadari benar, bahwa ruang subyektifitasnya menjadi benar-benar hadir dan mampu ditangkap kembali ketika ada yang tidak subyektif, yaitu ruang yang ditempati oleh ruang pola, apakah berbentuk kijang, atau gambaran-gambaran visual lainnya.
Proses mewujudkan ruang tari adalah sebuah proses transpormasi antara obyek realitas (natural) ke obyek renaan. Ruang ekspresif adalah mendukung terciptanya obyek rekaan. Ketika ruang rekaan tersebut hadir dalam wujudnya, maka terwujudlah pola yang disebut sebagai realitas kreatif.
Tubuh hanya merupakan sarana yang membawa pengalaman teknis, tetapi selanjutnya lebih ditentukan oleh sebuah pola pikir dan atau intuisi yang membimbing pada suatu arah yang dianggap sesuai dengan pengalaman rasa; hal ini lebih condong pada keputusan-keputusan intuitif, tetapi kepekaan estetik menjadi bagian yang penting dalam memaknai yang disebut ruang ekspresif.
Ruang yang diuraikan diatas, dapat dipahami lebih bersifat teknis (1) ruang dalam pengertian “wadah” atau “rumah” daris sebuah gagasan; ruang dalam pengertian tersebut lebih ditentukan pada pemahaman tentang “pola”. Implikasi dari pola mengarahkan pada suatu tata unsur dari bentuk, seperti arah garis, volume, level, kedudukan dan tanggapan terhadap kenyataan gravitasi. (2) ruang dalam pengertian areal atau tempat bermukim yang menyangga keberadaan wujud adalah sebuah kenyataan virtual, sementara pola yang mendorong terlahirnya bentuk adalah bersifat aktual. Visrtualisasi hadir oleh dukungan suasana, interaksi antar individu, karakter yang mampu dilahirkan atas intepertasi sisi, kostum yang mencerminkan sebuah rasa etnis atau kesan tertentu, seting dan properti yang memberikan makna simbolis tertentu. pengertian ruang yang kedua ini menunjukkan sebuah pola ruang yang bersifat dinamis, bersifat paradikmatik atau diakronis. Sementara pengertian ruang yang pertama lebih menekankan hal-hal yang dapat ditangkap secara nyata dari tubuh yang dikonstruksikan dan bersifat sinkronis, saat ini dalam pengertian format-format yang ditonjolkan, atau memiliki pandangan sintakmatis; atau kenyataan yang bersifat aktual (lawan virtual).
Waktu adalah suatu wadah proses, yang terbentuk dari satu satuan ke satuan lain dan membentuk sebuah rangkaian yang bersifat mengikat; sifat waktu bersifat merangkai dan tidak memiliki sinyal yang mengevaluasi. Maka serendah apapun tingkat kemampuan merangkai gerak pada waktu tertentu juga akan terbentuk rangkaian yang dipersepsi oleh pemerhati yang awam sebagai “tari”. Tetapi jika mencermati kebermaknaan “waktu” pada sifat rangkaian, tentu akan bermakna lain. Makna dari evaluasi berdasarkan dalam ranah waktu akan menuntun pada kesadaran kreatif tentang sekuen, tentang frase, tentang rasa dinamik, tentang paradigmatik (hubungannya dengan sesuatu yang lampau), tentang diakronis (hubungan dengan sesuatu yang bersifat keseluruhan dari awal), tentang dramatikal, tentang sifat kenyataan yang membuka (pandang) dan menutup (ulihan).
Sifat waktu dalam menghadirkan ruang adalah sebuah ikatan yang bersifat mengikat. Dalam tataran praktis, ruang tidak dapat dipisah dengan waktu. Ruang dan waktu tidak dapat diberikan makna keterkaitan dengan kata sambung “dan”. Oleh karena itu dalam membicarakan bentuk kaitannya dengan waktu adalah ruang-waktu. Sebuah kedua elemen estetik (perseptif) tersebut tidak dapat hadir secara nyata satu persatu, walaupun bentuk yang bersifat statis sekalipun. Diam dalam kenyataan bukan berarti dalam keadaan statis, seperti kondisi benda-benda mati yang tidak dapat berubah dengan sendirinya. Maka tampak benar ruang untuk menikmati atau merasakan perubahan. Perubahan pada hakekatnya adalah sebuah perlawanan dengan diam, diam menjadi sangat bermakna ketika penikmat berada pada saat menanti selesainya diam. Maka dapat dikatakan bahwa perubahan adalah sebuah proses keadaan potensial menjadi aktual, dan demikian kondisi aktual menuju potensial.
Aktualisasi adalah sebuah perwujudan kontemporer (kesesaatan yang tidak terulang kembali) dari sebuah perlawanan kondisi potensial (kebermaknaan atau kemapanan). Secara teknis pola-pola potensial yang berulang atau tidak menuju pada pernyataan aktual membuat terasa “statis”. Ini yang dapat dimaknai “statis” bentuk menahan waktu. Perhatian kondisi potensial dari bentuk, sikap,atau posisi patung. Bentuk adalah sebuah kondisi potensial yang tidak menemukan pola aktualnya. Maka waktu dalam ruang paton menjadi waktu yang bersifat “statis”. Tapi dalam koreografi dapat hadir waktu yang bersifat “statis”, yaitu hadirnya pola-pola potensial yang berulang dalam waktu yang cukup lama. Pola menahan waktu bukan hakekat realita, tetapi memaksa peminat untuk mampu menggali secara esensial aktualitas imajinatif.
Aktualisasi dari penyataan bentuk (pola ruang) sangat tergantung dari pola potensial yang mengawali (mendahului), dapat bermakna sebagai pemahaman tentang teknis tari kaitanya dengan aspek anatomis, yang disebut dengan kewajaran mekanistik tubuh. Bentuk sangat bergantung pada kemampuan kondisi potensial teknik yang dikuasai penari, maka pola potensial selalu berkait dengan citra antraktif dari kemampuan penari, demikian pula pencarian pola aktualnya. Hal ini tidak terkait dengan bentuk-bentuk yang sederhana, sesederhana apapun pola menjadi bersifat aktual ketika kemampuan teknik penari mampu mendukung menciptakan pola potensialnya.
Waktu adalah suatu kondisi yang memberikan ruang mencapai kemampuan dinamis (potensi) yang meliputi sebuah pencapaian makna dan karakteristik yang khas sebagai pernyataan seni, maka waktu merupakan elemen yang membuat tubuh mencapai kesan virtualitasnya, dan sekaligus teknis. Sebuah teknik mengangkat kaki dan meletakkan pada posisinya, akan terasa benar memiliki makna musikal ketika pola itu tidak melawan ritme; apakah mengikuti pola pada hitungan genap atau mengikuti rasa irama yang mengalir, ketika menjatuhkan kaki pada posisi tertentu diikuti oleh suara instrumen yang rendah; baik sesudah, tepat atau mendahului bunyi yang menekan.
Contoh tersebut diatas adalah pengertian umum yang selalu menghubungkan waktu dengan rangkaian nada-nada yang tersusun secara sistematis dan memberikan dukungan terhadap pola ruang yang divisualisasilkan melalui tubuh. Pola teknik ini memberikan pemahaman bahwa tubuh itu menjadi potensial, bermakna, dan atau memiliki karakteristik serta emosional atas suport dari bunyi-bunyi yang teratur. Keteraturan bunyi-bunyian yang memberikan nuansa rasa emosi, kekuatan dinamik, atau kesan rasa berat atau ringan merupakan kenyataan yang tidak terbantah, bahwa itu merupakan wujud realitas adanya ruang waktu.
Tenaga (power)
Seperti halnya ruang-waktu, aspek tenaga dalam konsep koreografi adalah sesuatu yang tidak nyata secara visual, tetapi menentukan secara esensial. Karena tidak terorganisirnya tenaga secara sistematis dan terarah, maka sulit bagi seorang koreografer mempu mengenali seluruh emosi yang ada dalam tubuhnya, terlebih ketika melakukan perpindahan pola ruang-waktu pada penari.
Penampakan tenaga dalam tubuh penari merupakan sebuah usaha kreatif yang bersifat dinamis, yang mampu menghidupkan rasa ruang-waktu.
Tenaga secara praktis seringkali diartikan sebagai dorongan yang dialirkan melaui pusat-pusat kekuatan pada tubuh, mengalir melalui otot-otot dan memusat pada persendian dan memberi bentuk pada tubuh.
Robby Hidayat
Selengkapnya...

Pengenalan Nilai Budaya Melalui Seni Tari

0


Seni tari dapat digunakan sebagai media pengenalan nilai budaya. Upaya agar siswa dapat mengenali nilai budaya tidak cukup dengan membaca atau diberi penjelasan (wawasan), tetapi mereka dimungkinkan dapat berpartisipasi (berperan aktif dalam merasakan secara phisikal dan berempati dengan aktifitas kesenian).Sebagai contoh, gerak sembah (sungkem) dapat dirasakan dan atau dihayati maknanya yang hidup dalam lingkungan budayanya, yaitu sebagai wujud penghormatan dan bakti pada orang tua atau orang yang dituakan Sudah barang tentu penenalan nilai budaya ini juga dimungkinkan dapat diaplikasikan dengan nilai etika yang berkembang dalam masyarakat, seperti cara duduk, cara berdiri, berjalan, menghormati orang lain dan lain sebagainnya. Pendekatan yang digunakan belajar melalui seni tentang nilai-nilai budaya. Paulina Pannen (2002:7) mengemukakan keterkaitan pendidikan dengan kebudayaan sebagai berikut.
Kekayaan khasanah seni dan budaya lokal dan atau seni dan budaya Nusantara memberikan kekayaan “repertoire” strategi pembelajaran bagi tenaga pengajar, sehingga tenaga pengajar menjadi lebih leluasan untuk berkreasi dan berinovasi dalam pembelajaran bidang ilmu yang diampunya. Kemampuan berkreasi, berinovasi, dan berimajinasi bukanlah semata-mata miliki seniman, tetapi milik semua orang-berbagai ketrampilan yang sangat diperlukan dalam hidup, termasuk juga oleh tenaga pengajar untuk merancang dan melaksanakan pemberlajan di sekolah.
Pernyataan Paulina Pannen tersebut menunjukan bahwa guru mempunyai peluang besar untuk menghantar siswa-siswinya mengenali kekayaan khasanah seni budaya, sudah berang tentu termasuk nilai-nilai yang dikandung dalam tradisi masyarakat tertentu.
Robby Hidayat
Selengkapnya...

Seni Pertunjukan

0


Seni pertunjukan adalah suatu perujudan dari manifestasi ide-ide dan segenap perasaan manusia yang memuat berbagai aspek problematika masyarakat. Seperti halnya mitos, seni pertunjukan juga bermaksud mengkomunikasikan fenomen dan sekaligus fenomenanya. Bahkan didalamnya (seni pertunjukan) memuat juga aspek mitos, karena salah satu media dalam mengkomunikasikan mitos yang paling kompleks adalah seni pertunjukan, dan yang paling sederhana adalah bentuk resitasi, atau tradisi maca, bacaan, atau macapat.
Fenomena yang dipresentasikan tidak hanya bersifat alih teks, tetapi sebuah manifestasi gagasan sesaat yang berisi ide-ide atau tanggapan spontan. Hal ini banyak terjadi dalam bentuk-bentuk penyajian seni pertunjukan tradisional mulai dari bentuknya yang paling sederhana hingga yang paling kompleks. Bentuk yang paling sederhana seperti kentrung, yang melibatkan unsur maca (mandongeng) dan musik, drama rakyat yang telah menyajikan berbagai unsur yang lebih kompleks, seperti tindak laku (action), aktor atau pemain (bisa penari atau vokalis), musik, dan kompleksitas prof set. Seperti dari bentuknya yang paling sederhana seperti Kethoprak Lesung , Lerok atau besudan. Bahkan juga dapat hadir lebih lengkap seperti dramatari atau bentuknya yang lain Sendratari (Grop Choreography). Disini melibatkan secara kompleks unsur-unsur musik, nyanyi, gerak, action dan juga kompleksitas prof set (dekorasi). Bentuk yang kompleks ini sebenarnya sudah muncul lebih kurang pada abad XIII, yaitu yang dikenal dengan bentuk seni pertunjukan dramatari bertopeng, yang kemudian dikenal di Bali dengan Wayang wong yang mengambil lakon epos Ramayana, yang kemudian juga muncul sebagai bentuk yang lebih menekankan unsur topeng seperti Drama Gong yang mengambil cerita Ramayana atau serita daerah setempat. Bentuk ini juga sangat dikenal di Jawa yaitu bentuk Wayang wong yang mempresentasikan lakon-lakon Panji juga menggunakan Topeng, dan lakon Mahabharata dan Ramayana jika tidak menggunakan topeng.
Adapun bentuknya yang baru dari wayang wong ini yaitu Sendratari yang muncul kuran glebih tahu 1960-an, yaitu dengan mempresentasikan gerak sebagai fokus utamanya dalam menyampaikan pesan. Bahkan tempat mempresentasikan yang sangat spektakuler berupa panggung terbuka (ampiteater) didepan candi induk Prambanan, kemudian muncul bentuk panggung serupa di Jawa Timur yaitu Candrawilwatikta, dan juga tapa tahun 1970-an di Bali mengambil bentuk prototipe Polesenia Culuturel Center di Hawaii, yaitu panggung terbuka Ardha Candra di lingkungan Art Center di Denpasar Bali.
Kehadiran bentuk dan sarana serta prasarana seni pertunjukan, sebenarnya adalah peruasan dari bentuk penyampaian yang sederhana, baik berupa tradisi maca, bacaan, macapat, atau dongeng yaitu media khas untuk menyampaikan mitos. Karena perluasan komunikasi mitos-mitos tersebut yang sebenarnya lebih diutamakan, sehingga Bali menjadi suatu tempat presentasi mitos dewa-dewa yang paling kompleks di Dunia. Sehingga berbagai warga manusia di penjuru dunia selalu ingin menyaksikan keajaiban “Khayangan”, kerajaan dewa-dewi yang memiliki berbagai mitos yang menyadarkan bahwa manusia itu memiliki suatu pesona yang sangat sensitif yaitu “Rasa”. Sungguhpun memburu mitos dunia ini tidak hanya di Bali , karena di berbagai penjuru dunia dengan sarana travel biro wisata telah mampu membangkitkan mitos dan seni pertunjukan bersatu, yaitu menjalin daya tarik menciptakan kenangan sebagai salah satu motivasi besar bagi peziarahnya menumbuhkan energi spirit masa depan yang bersifat religius, yaitu harapan untuk pahala dan surga.
Seni pertunjukan dalam menyampaikan mitos sebuah media representatif, sungguhpun kemudian lebih dimanfaatkan untuk kepentingan praktis. Setidaknya lebih dimanfatkan untuk kepentingan internent, dengan mengharapkan adanya kenangan dramatik atau eksotisme dunia etnik masa silam.
Robby Hidayat
Selengkapnya...